Terapi Lumba-lumba
Ketika Lumba-lumba Menjadi Dokter Autis
Deden Gunawan - detikNews
Foto: Deden/Detikcom
Akbar adalah seorang anak autis. Siang itu dia bermain bersama lumba-lumba didampingi Chandra, seorang petugas dari Therapy Dolphin Clinic, di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu. Di kolam seluas 13x8 meter itu Akbar sedang menjalani proses terapi lumba-lumba.
Chandra mengatakan, terapi lumba-lumba sangat efektif untuk penyembuhan autis. Ternyata, lumba-lumba mengeluarkan gelombang sonar yang bisa memperbaiki permasalahan di urat syaraf manusia.
"Dengan lumba-lumba, selain anak autis bisa diterapi, mereka juga bisa bermain-main sehingga menjadi rileks saat diterapi," jelas Chandra kepada detikcom, Minggu (21/3/2010).
Dalam proses terapi yang berlangsung selama 30 menit di kolam yang tertutup tersebut, pasien akan dilatih menghafal, fokus, serta bersosialisasi. Sebab, para penderita autis umumnya asyik dengan dunianya sendiri dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Pada awal terapi, si pasien belajar mengenal dekat dengan lumba-lumba. Sang terapis akan mengajari pasien memanggil dan memegang lumba-lumba. Hal ini dilakukan supaya pasien bisa mengingat lingkungan di sekitarnya dan belajar menuruti orang yang membimbingnya. Anak-anak penderita autis umumnya sulit menuruti panggilan orang tua atau orang lain, meskipun hiperaktif.
Tahap berikutnya, pasien berenang bersama lumba-lumba dengan memegang sirip ikan tersebut. Berenang bersama ini tujuannya agar pasien bisa berinteraksi dan belajar kalau bermain bersama juga mengasyikkan. Pada tahap ketiga, lumba-lumba akan mencium pasien pada bagian tertentu, terutama di depan dan belakang leher. Cara ini diharapkan mampu mengatasi gangguan syaraf pasien.
"Saat mencium leher pasien, gelombang sonar yang dimiliki lumba-lumba akan mengalir ke pusat syarat pasien. Gelombang sonar tersebut sangat bermanfaat untuk merenggangkan syaraf-syaraf yang tegang dan menormalkannya," tutur Chandra.
Sekalipun diyakini sangat bermanfaat dan efektif, terapi lumba-lumba ini tidak bisa dengan cepat menyembuhkan pasien autis. Butuh terapi rutin dan waktu yang cukup lama. Target Chandra, dalam setahun anak-anak penderita autisme sudah bisa berbicara. Setelah tiga tahun, anak autis sudah bisa mengenal dekat lumba-lumbanya.
"Akbar, kalau dulu susah sekali kalau dipanggil. Dia selalu diam dan mengacuhkan panggilan saya," jelas Fia, ibu kandung Akbar.
Menurut Fia, Akbar mulai menjalani terapi lumba-lumba sejak 2006 di Gelanggang Samudra, Taman Impian Jaya Ancol. Namun sejak September 2008, terapi ini dipindah ke Pulau Bidadari. Akbar mau tidak mau harus pergi ke pulau itu seminggu sekali demi menjalani terapi anaknya.
Fia mengeluh dengan dipindahkannya terapi tersebut ke Pulau Bidadari karena biaya pengobatan jadi membengkak. Untuk sekali berobat, Fia harus mengeluarkan uang Rp 550 ribu. Uang ini untuk biaya masuk ke Ancol, speedboat pulang pergi Ancol-Pulau Bidadari, dan tentu saja biaya terapi.
Padahal saat terapi masih dilakukan di Gelanggang Samudera, Fia cukup mengeluarkan biaya Rp 205 ribu untuk semua ongkos dalam sekali terapi. Akbar pun bisa diterapi seminggu dua kali.
"Kalaupun dokter menyuruh terapi 2 kali seminggu, Akbar hanya bisa sekali saja diterapi. Soalnya biaya yang harus saya keluarkan dua kali lipat dari sebelumnya," jelas Fia.
Sekalipun terapi ini sangat memberatkan ekonomi keluarganya, Fia masih tetap mempercayakan terapi anaknya di Pulau Bidadari. Hanya Pulau Bidadari saja yang memiliki terapi lumba-lumba. Selain itu, Akbar sudah berteman akrab dengan dua lumba-lumba yang menemaninya terapi.
Akbar hanyalah satu dari 60 anak-anak penderita autis yang biasa diterapi di Pulau Bidadari. Namun diakui Fia, hanya Akbar dan satu anak lagi yaitu Billy yang setiap minggu masih rutin terapi lumba-lumba.
"Mereka kebanyakan mengeluh karena tidak punya uang. Akbar saja bisa terapi seminggu sekali karena bantuan dari keluarga saya yang lain," pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment